Perempuan dalam data etnografi ekonomi
Berbagai kajian etnografi dan sejarah menunjukkan bahwa perempuan Indonesia dan Asia Tenggaea pada umumnya menikmati status lebih tinggi dibanding Negara-negara sekitarnya seperti India, Cina dan Timur Tengah. Perempuan tidak ditunangkan secara ketat, tidak ada pembunuhan bayi perempuan yang lahir karena tidak diinginkan, tidak ada pembakaran janda seperti di India, tidak ada pengikatan kaki agar tidak tumbuh seperti di Cina, tidak ada aturan pelarangan janda untuk menikah lagi, tidak ada perempuan yang dibunuh untuk alasan “honor killing” seperti di Pakistan. Dan perempuan di Indonesia tidak mempunyai tradisi kultural menggunakan cadar.
Masyarakat modern di Indonesia dan Asia Tenggara mempunyai relasi kekerabatan bilateral yang sangat luas. Gender tidaklah sekaku dalam dikotomi Barat. Posisi perempuan tidak bersifat kaku secara oposisi biner dengan laki-laki, melainkan sangat fleksibel dan cair. Secara kultural, perempuan bisa terlihat sangat maskulin, ia bisa tampil di ruang publik tergantung pada konteks dan kondisi sosial tertentu. Di wilayah domestik, perempuan mempunyai monopoli dalam mengasuh anak, juga terbuka dalam hal seks terhadap pasangan. Demikian pula, harapan terhadap keinginan jenis kelamin anak juga dianggap sejajar. Yang dipermasalahkan adalah lebih kepada jumlah anak, namun tidak masalah jenis kelaminnya apa. Orang tua menganggap kelompok keluarga mereka lebih lengkap jika terdapat anak-anak laki-laki dan perempuan didalamnya.
Meski sejarah kekerabatan masyarakat lebih dibentuk melalui patrilineal, namun secara resiprositas diatur melalui hubungan secara bilateral. Prinsip bilateral ini terlihat pada tingkatan domestik dan komunitas. Pasangan sebagai mitra sejajar dan saling melengkapi. Setelah menikah suami dan istri memiliki semua properti yang digabungkan.
Perempuan juga mempunyai kontrol terhadap penguasaan properti dalam pernikahan. Meski dalam agama Islam, perempuan seharusnya mewarisi properti lebih kecil dari saudara laki-lakinya, namun secara kultural, di Indonesia perempuan mewarisi properti secara sejajar dengan laki-laki. Keduanya mempunyai hak sama dalam mengusulkan cerai, dan dari berbagai catatan sipil menunjukkan terjadi peningkatan tuntutan cerai yang diawali dari permintaan perempuan. Demikian pula, perempuan mendapatkan hak properti yang sejajar setelah cerai.
Perempuan tidak mendapatkan larangan untuk mendapatkan akses ke pekerjaan, pendidikan dan ekonomi. Dan hampir tidak yang berkeberatan ketika mereka duduk di jabatan tinggi birokrasi. Meski di wilayah domestik, karir perempuan yang melejit dengan pendapatan tinggi dianggap “mengancam” bagi pasangannya.
Berbagai data etnografi menunjukkan pula bahwa, banyak perempuan Indonesia yang terlibat dalam berbagai aktivitas ekonomi sebagai pedagang dan manajer keuangan domestik. Di ranah ekonomi, perempuan berpartisipasi di semua level masyarakat. Mereka mengontrol ekonomi domestik, dan menjagi pelaku aktif dalam perdagangan eceran, perdagangan asongan di desa-desa dan juga pemilik warung dan toko di pasar, dan menjadi figur penting di wilayah usaha bisnis yang lebih luas. Beberapa dari tokoh bisnis perempuan kemudian mempunyai jabatan politik yang tinggi ketika ia menggunakan usaha bisnisnya ke wilayah politik.
Di Indonesia dan
Asia Tenggara, secara kultural, ranking dan penghormatan bukan didasarkan pada
relasi laki-laki-perempuan, namun usia atau senioritas, dan klas atau
kepemilikan properti.
Pada umumnya perempuan dilumrahkan bepergian kemanapun ia pergi dengan tanpa
rasa was-was. Hal inilah yang kemudian membuat salah satu tradisi pedagang
keliling, atau di Maluku di sebut Papalele, perempuan pedagang keliling
mempunyai tradisi yang panjang dan dihormati oleh masyarakat.
Perempuan pedagang mempunyai kebebasan dalam melakukan perjalanan menembus batas-batas wilayah….. Demikian juga, dalam studi klasik etnografi Alice Dewey (1962) dan Jennifer Alexander (1982) tentang perdagangan di pedesaan Jawa menunjukkan bahwa meski laki-laki selalu mendominasi kehidupan politik, namun perempuan mengontrol kehidupan ekonomi. Perempuan mempunyai tugas mengendalikan pasar dan melakukan negosiasi bisnis. Perempuan yang berdagang juga tidak ditentang dalam narasi besar Agama, baik seperti Islam maupun Kristen.
Urbanisasi dan efeknya terhadap perempuan
Studi mendalam tentang perubahan perempuan dalam kapitalisme global yang paling popular dilakukan oleh Aihwa Ong dalam Spirits of Resistance and Capitalist Discipline (1987). Ong menunjukkan bahwa gender mempunyai posisi berkompromi yang dapat dikontestasikan, ia bersifat ambivalent, namun juga terus mengalami perubahan. Ong secara khusus melihat pekerja pabrik perempuan yang belum menikah dalam sektor manufaktur di kawasan Zona Perdagangan Bebas Malaysia. Para keluarga di desa-desa di Jawa yang mulai kehilangan tanah, sangat bergantung pada kiriman uang kas dari saudara perempuan mereka yang bekerja di kawasan zona ini. Perempuan di wilayah pabrik yang melakukan urbanisasi adalah dari kalangan warga miskin pedesaan yang orang tuanya bukan lagi petani pemilik tanah.
Tingginya angka urbanisasi membuat perempuan tinggal di kos, asrama, apartemen. Tempat baru ini memisahkan mereka dari kungkungan ikatan tradisional yang lama sekaligus memberi kesempatan pada beragam pengalaman seks dan longgarnya tuntutan untuk segera menikah. Mereka mempunyai negosiasi yang lebih selektif dalam memilih pasangan menikah. Pekerja perempuan di kawasan ini mempunyai kontrol yang longgar dari Ayah dan saudara laki-laki mereka. Kehidupan perempuan di kota sekaligus memberikan beragam kesempatan dalam pekerjaan mulai dari porstitusi, salon kecantikan, restoran, bar, tukang pijat profesional, hingga guru les Bahasa Inggris dan Matematika. Tak sedikit pula sisa gaji dari perempuan, disisihkan untuk orang tua mereka di wilayah asal, atau membantu saudara-saudara mereka yang lebih miskin. Menariknya, tidak ada tekanan atau larangan yang kuat dalam adat masyarakat untuk melarang perempuan keluar dari desanya.
Perkembangan yang pesat terjadi pula pada meningkatnya ketersediaan kerja non-tani bagi perempuan. Besarnya mobilitas perempuan bersamaan dengan tingginya tingkat pendidikan yang berimplikasi pada pendapatan yang lebih tinggi dari pasangannya. Dari pendidikan, banyak perempuan yang berkeahlian dan mendapatkan tempat pijakan bagus di lingkungannya yang baru.
Perempuan dan Uang Kas
Sistem warisan
yang bersifat bilateral, dimana pembagian properti dilakukan secara adil dan
tidak berat sebelah pada laki-laki, pernikahan adat yang memberikan uang masuk
(brideprice) kepada perempuan secara tinggi, hingga pengaturan perceraian yang
memberikan harta gono-gini terhadap perempuan, membuka kemungkinan perempuan
untuk mempunyai bisnis sendiri dari modal-modal sistem diatas.
Perempuan mempunyai kebebasan untuk berafiliasi dalam koperasi dan pengelolaan
hutang rumah tangga. Ia dapat mengemukakan pendapatnya kepada suami berkenaan
dengan pengelolaan uang. Secara tradisional, perempuan dalam konteks rumah
tangga, memegang banyak pembelanjaan dan uang kas dari pemasukan suami-suami
mereka. Terdapat banyak data etnografi yang menunjukkan bahwa perempuan
mempunyai peranan dalam menangani uang kas yang dibawa oleh laki-laki.
Perempuan bertanggung jawab untuk ‘likuiditas‘ dalam unit rumah tangga seperti
kut atau arisan.
Berbagai studi etnografi yang serupa satu sama lain di Asia Tenggara menunjukkan bahwa laki-laki mempunyai ambivalensi perasaan dalam menangani uang kas. Sebagaimana dalam studi yang dilakukan oleh Suzan Brenner [1998: 134-170) yang melakukan catatan tentang para pedagang batik di Laweyan Solo di Jawa. Studi etnografi Janet Carsten (1989) di Langkawi Malaysia tentang “memasak uang” (cooking money) menunjukkan bahwa perempuan mempunyai fungsi untuk menerima uang kas milik suami mereka yang bermata pencaharian Nelayan, dan ‘memasak‘ nya kemudian. Uang kas dari penjualan ikan diberikan kepada perempuan di rumah untuk membeli beras di pasar dan memasaknya. Tujuannya bukan hanya untuk kebutuhan domestik, namun juga untuk acara festival komunal. Perempuan kemudian “mensosialisasikan” uang dari suami ke dalam kut atau gelanggang kredit, yang pada gilirannya memberikan modal berguna bukan hanya bagi para anggotanya; namun juga untuk para suami yang menginginkan sedikit uang untuk dibelanjakan.
Dalam masyarakat Jawa, istilah kut ini serupa dengan arisan, yakni rotasi lingkaran kredit yang dijalankan oleh perempuan untuk meningkatkan kekuasaan keuangan lokal mereka. Para suami kemudian akan meminta istri mereka dari uang hasil kut tersebut (Carsten, 1997: 154-155). Diluar rumah tangga, perempuan sering terlibat dalam perdagangan kecil, seperti menjagai toko bahkan memilikinya. Pada skala menengah, perempuan yang memiliki toko mempunyai beberapa karyawan laki-laki. Hal ini pula saya temukan di penelitian lapangan di kawasan urban berpendapatan rendah seperti di Air Salobar, Kota Ambon. Semakin miskin sebuah kawasan, semakin tinggi tingkat entrepreneurship perempuan dengan dua cara. Pertama memutar uang dari pendapatan suami (supir angkot, buruh pelabuhan) ke dalam gelanggang judi. Kedua, membuka kios-kios kecil menjual makanan ringan.
Pada masyarakat Nelayan di Maluku, posisi perempuan dalam mengatur uang kas sangat penting mengingat hasil tangkapan ikan tidak bersifat pasti/tetap. Istri berperan sebagai manajer dalam unit domestik rumah tangga yang berperan mengatur praktik keuangan keseharian. Berbeda dengan pasangan suami-istri modern, yang mengatur uang dari hasil pendapatannya secara terpisah, pada masyarakat Nelayan, meski pasangan laki-laki dan perempuan menghabiskan banyak waktu di wilayah yang terpisah, laki-laki di lautan bebas dan perempuan di rumah, namun keuangan mereka tersatukan dalam semangat bersama. Antropolog menyebutnya sebagai etos duosentrik “dua mata pencaharian yang terpisah namun saling bekerja sama”.
Disaat Krisis Ekonomi
Di saat krisis, perempuan diharapkan menjadi partner yang aktif, Lyne Milgram
(1999) dalam studi etnografinya melakukan penelitian pada 250 rumah tangga
masyarakat pengrajin di kawasan Ifugao, di provinsi Filipina utara, menunjukkan
bahwa:
“Perempuan mengontrol dan mengalokasikan
uang rumah tangga, mempunyai keputusan utama dalam hal kerja dan pembelanjaan,
dan berdiri secara sejajar menjadi bagian aktif dalam kinerja produktif…perempuan
yang menikah mengumpulkan kebanyakan atau hampir semua pemasukan suami dan
anaknya. Kumpulan pendapatan keluarga secara kolektif pertama kali digunakan
untuk memenuhi kebutuhan subsisten harian, dan jika mungkin, mengumpulkan
beberapa sisa cadangan untuk menghadapi krisis” (Milgram, 1999: 226)
Dalam ekonomi rumah tangga, perempuan juga tidak dilarang untuk menciptakan
hutang. Khususnya di saat krisis. Bahkan hutang dianggap sebagai tindakan
positif selama hutang bertujuan membangun relasi sosial kekerabatan dan
mendukung usaha rumah tangga. Hutang mulai mengalami feminisisasi dan penemuan
jenis kelamin sebagai aktivitas perempuan, karena target hutang secara global
pada saat ini adalah perempuan. Dalam kosakata Filipina dan Indonesia,
kewajiban pembayaran kembali dikenal dengan istilah utang sebagai sesuatu hal
yang harus diingat dan dihormati (utang na loon) (periksa diskusi mengenai
utang di Cannel [1999: 102-194) dan (Charles Kaut, 1961)
Riset etnografi saya sendiri di kota Ambon (2016) dan riset Jeroen Adam (2009) menunjukkan bahwa perempuan menjadi benteng terakhir dalam menghadapi krisis ekonomi. Laki-laki yang mengalami PHK karena krisis ekonomi sejak 1997 dan mereka yang terlibat konflik Ambon pada tahun 1999, tidak sempat menafkahi keluarganya. Para perempuan mengambil inisiatif dengan cara berdagang. Mereka mendirikan pasar-pasar di perbatasan yang hingga saat ini masih eksis, seperti Pasar Waiheru, Pasar Batugajah, dan Pasar Batumeja.
Secara global, perempuan justru menjadi tameng disaat masyarakat semakin mengalami krisis akibat sistem ekonomi liberal. Meski mempunyai peranan penting dan sejajar dengan laki-laki, banyak perempuan yang mengalami marjinalisasi dan eksploitasi dari dari perkembangan kapitalisme dan formasi negara, kekurangan akses mereka terhadap sumberdaya produkif tertentu, ketercerabutan di wilayah perdesaan sebagai hasil dari perkenalan mekanisasi pertanian. Studi penting James Scott telah memberikan contoh antropologisnya di kawasan Malaysia dan Gillian Hart melihat perempuan adalah korban paling utama terhadap revolusi hijau, namun perempuan pula lah yang sekaligus menjadi agen penting dalam memutar uang dan hasil panen
SUMBER :https://econanthro.wordpress.com