Orang Kristen dalam Sejarah Politik Indonesia
Sejak awal, sejarah bangsa ini dipenuhi gejolak politik. Kelompok-kelompok terfragmentasi begitu kental. Masing-masing berupaya merebut pengaruh, menjadi yang paling dominan, apakah nasionalis, komunis, atau agamais.
Di antara itu semua, kelompok Nasrani―baik Kristen Protestan maupun Katolik―menyimpan kekhawatiran tersendiri: menjadi minoritas yang tertindas. Maka ikut berpolitik menjadi kewajiban untuk dapat memengaruhi kebijakan. Tujuannya: jaminan keamanan dan kebebasan beragama.
Tapi dua kelompok ini, Protestan dan Katolik, memiliki perhitungan berbeda yang membuat mereka menempuh jalan berlainan.
Suasana memanas dimulai setelah pemilu pertama tahun 1955. Soekarno mengumumkan Konsepsi Presiden yang menandai awal berlakunya Demokrasi Terpimpin di Indonesia. Kebijakan itu dianggap sebagai kemenangan bagi Partai Komunis Indonesia, sebab keberadaan PKI dalam kabinet―bersama perwakilan partai lain―menjadi salah satu prasyarat utama.
https://allangasaude.blogspot.com/2018/07/22-tips-mencegah-kecurangan-pemilu-di.html
Kebijakan tersebut ditentang keras Partai Katolik dan Masyumi. Sementara partai lain menolak dengan sikap wait and see, karena kabinet yang dibentuk akan bertumpu pada empat kaki (PKI, Masyumi, Partai Nasional Indonesia, dan Nahdlatul Ulama).
Jusuf Wanandi dalam bukunya, Menyibak Tabir Orde Baru, menuliskan bahwa kelompok Katolik paling antikomunis dibanding kelompok Kristen lain.
Jusuf adalah salah satu akademisi cum aktivis Katolik yang turut mendirikan Center for Strategic and International Studies (CSIS) pada 1971. Lembaga ini sempat dicap sebagai think tank (wadah pemikir) yang mendukung Orde Baru dan berada di balik kebijakan-kebijakan rezim Soeharto itu.
Kekhawatiran kelompok Katolik atas PKI meningkat setelah melihat meningkatnya dukungan suara untuk komunis di hampir seluruh Jawa. Mereka khawatir PKI akan merebut kekuasaan dengan legal dan konstitusional.
Perbedaan pandangan politik antara PKI dan Partai Katolik ini membuat Jusuf waswas akan dijadikan target serang jika PKI menang.
Berkebalikan dengan Partai Katolik yang berseberangan dengan Sukarno melihat kedekatan sang Presiden dengan PKI, Partai Kristen Indonesia (Parkindo) yang berbasis kelompok Protestan justru memutuskan untuk dekat dengan Soekarno.
Parkindo yang saat itu dipimpin oleh Johannes Leimena, lebih khawatir terhadap kelompok Islam yang hendak mengembalikan tujuh kata mengenai syariat Islam―dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya―pada Piagam Jakarta ke dalam konstitusi.
Menurut Guru Besar Sejarah Gereja Indonesia Jan Sihar Aritonang dalam jurnal Kiprah Kristen dalam Sejarah Perpolitikan di Indonesia, Parkindo memilih dekat dengan Sukarno karena ingin memastikan Pancasila tetap menjadi dasar negara, dan meneguhkan jaminan kebebasan beragama.
Selain itu, Bung Karno juga memiliki kedekatan dengan Johannes Leimena. Menurut Soekarno, lelaki asal Ambon itu adalah orang yang sangat jujur, bagai Jesus of Nazareth. Oleh sebab itu, Soekarno mengangkatnya sebagai menteri.
Bahkan, Leimena tercatat sebagai tokoh politik masa Orde Lama yang paling sering menjabat sebagai menteri. Ia dipercaya Soekarno untuk terus berada dalam kabinet hingga 18 kabinet berganti―mulai Kabinet Sjahrir II pada 1946, hingga Kabinet Dwikora II 20 tahun kemudian pada 1966.
Ketika pecah peristiwa Gerakan 30 September (G30S/Gestapu) saat tujuh perwira tinggi militer Indonesia dibunuh dan PKI dituding jadi dalang, Partai Katolik bersikap tegas dan terang: menolak PKI.
Sikap itu disusul pertemuan Sekretaris Jenderal Partai Katolik Harry Tjan Silalahi dengan Soeharto pada 4 Oktober 1965. Soeharto saat itu menjabat Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Ia menggelar operasi pembersihan terhadap orang-orang yang dituduh pelaku G30S.
Pertemuan Harry dan Soeharto itu menghasilkan pembentukan Kesatuan Aksi Pengganyangan Gestapu oleh aktivis mahasiswa Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
KAP/Gestapu menjadi “pasukan pendobrak” yang memberikan dukungan politik kepada Soeharto untuk mengganyang PKI. Mereka menggelar aksi-aksi demonstrasi antikomunisme untuk menekan Bung Karno. Aksi di Lapangan Banteng pada 9 November 1965 misalnya dihadiri 1,5 juta orang.
“Kami menggunakan anggota Hansip untuk mengetuk rumah-rumah warga, mengingatkan bahwa mereka bisa dianggap PKI jika tidak hadir dalam acara-acara massal kami,” tulis Jusuf Wanandi terkait demonstrasi tersebut.
Bagi pemuda Katolik, Soeharto adalah pahlawan. Ia satu-satunya harapan yang dapat diandalkan untuk menghancurkan musuh politik mereka―PKI, juga untuk mengakhiri kekuasaan Bung Karno yang terasa makin otoriter.
PKI bahkan tak cuma dibubarkan, tapi “diganyang” dalam arti sesungguhnya. Ratusan ribu nyawa―kader dan simpatisan PKI―dihabisi oleh militer dan barisan antikomunis. Sementara ratusan ribu lainnya diasingkan ke Pulau Buru, Maluku, tanpa pengadilan.
Jusuf dalam memoarnya mengatakan, pembantaian itu menyisakan tekanan batin yang ia sesali sampai tua. Ia menyesal tidak berhasil mencegah pertumpahan darah, meski pernah mencobanya.
“Saya menanggung rasa bersalah karena banyak korban—PKI dan bukan PKI— pada tahun 1965-1966. Lebih parah lagi, saya tidak mengetahui penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi waktu itu,” kata Jusuf.
Seolah itu belum cukup buruk, naiknya Soeharto ke tampuk kekuasaan nyatanya malah menjadi periode gelap bagi partai-partai Nasrani.
Pada awal kepemimpinannya, Soeharto masih mendengar saran dari kelompok akademisi-aktivis Katolik yang mendukungnya—yang kemudian mendirikan CSIS. Saran itu terentang mulai soal kebutuhan partai guna menopang kekuasaan, hingga cara-cara populer untuk melakukan depolitisasi massa melalui musik, tari, film, dan sebagainya
Tak heran pada paruh pertama Orde Baru 1966-1985, kekuatan politik Nasrani berada di atas angin. Sejumlah tokoh Kristen berhasil menduduki jabatan penting di birokrasi Orde Baru, kendati partai-partai Kristen perlahan dimatikan.
Pada Pemilu 1971, dukungan terhadap dua partai Nasrani menurun. Parkindo hanya mendapat tujuh kursi, sedangkan Partai Katolik tiga kursi. Sebelumnya pada Pemilu 1955 di masa Sukarno, Parkindo dan Partai Katolik sama-sama meraih delapan kursi parlemen.
Tak dinyana, Pemilu 1971 menandai akhir perjalanan Parkindo dan Partai Katolik. Setahun sebelumnya, 1970, Soeharto menyederhanakan partai-partai di Indonesia ke dalam tiga kelompok saja.
Tiga kelompok itu adalah kelompok agamis dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP), kelompok nasionalis dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan kelompok golongan karya buatan Soeharto sendiri yang jadi cikal bakal Partai Golkar.
Dasar penyederhanaan partai itu demi menjaga stabilitas politik. Apa pun alasannya, kebijakan-kebijakan politik Soeharto mulai jadi bumerang untuk kelompok minoritas.
Pada Pemilu 1971, hanya dua partai (PPP dan PDI) dan satu golongan karya (Golkar) yang diizinkan ikut pemilu.
Otomatis Parkindo dan Partai Katolik tak punya pilihan selain bergabung ke partai nasionalis—PDI. Sebab tak mungkin mereka melebur ke PPP yang memiliki perbedaan ideologi lebih kental. Dan sebagian besar anggota partai Kristen enggan untuk bergabung dengan Golkar.
Fusi partai itu, menurut Guru Besar Sejarah Gereja Indonesia Jan Aritonang, mengakibatkan hilangnya jati diri politik Kristen di Indonesia. Sebab Parkindo dan Partai Katolik jadi terpaksa bergabung dengan PDI yang berasaskan Pancasila dan nasionalisme.
Cara Penyertifikatan Tanah Adat
Secara umum dan awam, orang menyebut “tanah adat” ada 2 pengertian:
1. Tanah “Bekas Hak Milik Adat” yang menurut istilah populernya adalah Tanah Girik, berasal dari tanah adat atau tanah-tanah lain yang belum dikonversi menjadi salah satu tanah dengan hak tertentu (Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atau Hak Guna Usaha) dan belum didaftarkan atau disertifikatkan pada Kantor Pertanahan setempat. Sebutannya bisa bermacam-macam: girik, petok, rincik, ketitir dan lain sebagainya; atau
2. Tanah milik masyarakat ulayat hukum adat, yang bentuknya seperti: tanah titian, tanah pengairan, tanah kas desa, tanah bengkok dll. Untuk jenis tanah milik masyarakat hukum adat ini tidak bisa disertifikatkan begitu saja. Kalau pun ada, tanah milik masyarakat hukum adat dapat dilepaskan dengan cara tukar guling (ruislag) atau melalui pelepasan hak atas tanah tersebut terlebih dahulu oleh kepala adat.
Untuk tanah bekas hak milik adat yang berbentuk Girik (poin 1) di atas, jika pihak yang hendak melakukan proses penyertifikatannya merupakan pemilik asli yang tercantum dalam tanah adat tersebut, maka tidak diperlukan adanya jual beli terlebih dahulu.
Jika sudah terjadi pewarisan misalnya, maka harus didahului dengan pembuatan keterangan waris dan prosedur waris seperti biasa. Sedangkan jika perolehan haknya dilakukan melalui mekanisme jual beli, maka harus di ikuti lebih dahulu proses jual belinya
Penyertifikatan tanah adat dalam istilah hukum pertanahan dikenal dengan pendaftaran tanah untuk pertama kali, yaitu kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap objek pendaftaran tanah yang belum didaftar. Kegiatan ini ada dua jenis, pertama, pendaftaran tanah secara sistematis, yang diprakarsai oleh pemerintah. Yang kedua, pendaftaran tanah secara sporadis yang dilakukan mandiri/atas prakarsa pemilik tanah. Kedua kegiatan ini tidak perlu didahului dengan proses jual beli
Jika yang akan dilakukan adalah jenis yang kedua, yaitu secara sporadis, Anda dapat meminta bantuan PPAT yang wilayah kerjanya sesuai dengan letak objek tanah yang akan didaftarkan.
1. Surat Rekomendasi dari lurah/camat perihal tanah yang akan didaftarkan.
2. Membuat surat tidak sengketa dari RT/RW/Lurah.
3. Surat Permohonan dari pemilik tanah untuk melakukan penyertifikatan (surat ini bisa diperoleh di Kantor Pertanahan setempat).
4. Surat kuasa (apabila pengurusan dikuasakan kepada orang lain, misalnya PPAT).
5. Identitas pemilik tanah (pemohon) yang dilegalisasi oleh pejabat umum yang berwenang (biasanya Notaris) dan/atau kuasanya, berupa fotokopi KTP dan Kartu Keluarga, surat keterangan waris dan akta kelahiran (jika permohonan penyertifikatan dilakukan oleh ahli waris).
6. Bukti atas hak yang dimohonkan: girik/petok/rincik/ketitir atau bukti lain sebagai bukti kepemilikan.
7. Surat pernyataan telah memasang tanda batas.
8. Fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) dan Surat Tanda Terima Sementara (STTS) tahun berjalan.
Setelah semua dilengkapi dan didaftarkan ke Kantor Pertanahan setempat, maka rangkaian kegiatan pendaftaran tanah pun dimulai. Pihak Kantor Pertanahan akan meninjau lokasi dan mengukur tanah, menerbitkan gambar situasi/surat ukur, memproses pertimbangan Panitia A, pengumuman, pengesahan pengumuman, pemohon membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sesuai dengan luas yang tercantum dalam gambar situasi/uang pemasukan, dan yang terakhir, penerbitan sertifikat tanah. Biasanya proses ini memakan waktu tiga bulan, tetapi bisa juga lebih, tergantung kondisi di lapangan.
Demikian, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
SUMBER : hukumonline.com