Agama Jalan Tengah
EDITORIAL Media Indonesia dengan topik Jalan Tengah Muhammadiyah mengartikulasikan secara tepat relasi antara agama dan negara (MI, Sabtu, 16/2).
Di tengah menguatnya praktik politik kebencian, intoleransi, dan gelombang populisme kanan, agama harus tampil sebagai agen moral yang mencerahkan.
Agama yang mencerahkan ialah agama yang ‘cinta damai, cinta toleransi, cinta membangun, dan cinta persaudaraan’ (MI, Sabtu, 16/2). Hal ini penting dalam merajut kehidupan bersama sebagai sebuah bangsa yang plural. Karena itu, tema tanwir Muhammadiyah yang berlangsung di Bengkulu, Jumat (15/2), yakni Beragama yang Mencerahkan, sangat tepat.
Pencerahan
Tema tanwir Muhammadiyah mengingatkan kita akan tradisi pencerahan dalam diskursus filsafat. Dalam tradisi filsafat Barat, pencerahan atau aufklaerung diartikan sebagai ausgang der menschheit aus der selbstverschuldeten unmuendigkeit, keluarnya manusia dari ketidakdewasaan yang disebabkan kesalahannya sendiri (Bdk Immanuel Kant, 1784).
Ketidakdewasaan itu berakar dalam ketidakmampuan manusia untuk menggunakan akal budinya dan hidup di bawah tuntunan cahaya akal budi atau rasionalitas. Karena itu, Immanuel Kant (1724-1804), salah seorang filsuf Jerman modern terbesar, menyerukan sapere aude atau ‘beranilah menggunakan akal sehat’ sebagai semboyan masyarakat modern.
Alasan Immanuel Kant tersebut relevan untuk konteks kita sekarang.
Pembusukan akal sehat sedang meracuni kehidupan bangsa Indonesia termasuk kehidupan beragama. Hal itu ditunjukkan lewat fenomena menguatnya radikalisme dan kekerasan atas nama agama. Kapitalisasi identitas agama untuk kepentingan politik elektoral dan lenyapnya budaya kejujuran ditelan wabah fake news dan hoaks di media sosial (Bdk Ari Susanto, Kompas, 18/2).
Resep agama ‘jalan tengah’ yang ditawarkan Muhammadiyah merupakan jalan pencerahan dan solusi dalam merumuskan peran publik agama serta menata kembali secara rasional hubungan antara agama dan politik di Indonesia.
Deliberasi rasional tentang hubungan antara agama dan negara bukan perkara baru dalam sejarah politik bangsa Indonesia. Pada awal berdirinya bangsa Indonesia, para generasi pendiri sudah berdiskusi secara serius tentang peran agama dalam kehidupan publik.
Masih segar kiranya dalam memori kolektif bangsa ini polemik antara Soekarno dan Mohammad Natsir. Soekarno merupakan representasi dari kelompok nasionalis sekuler yang memperjuangkan pemisahan tegas antara negara dan agama. Sementara itu, Mohammad Natsir menyuarakan aspirasi golongan nasionalis islami yang menghendaki pertautan yang erat antara agama dan negara. Hal itu karena agama tidak hanya mengatur relasi antara manusia dan Tuhan, tapi juga manusia dan manusia dalam sebuah tatanan politik.
Dua kubu
Tarikan antara dua kubu itu terus menggelora hingga dewasa ini. Dalam merumuskan peran publik agama terdapat dua posisi ekstrem yang harus dihindari. Pertama, kecenderungan privatisasi agama tanpa pertanggungjawaban sosial atau solidaritas sosial. Di sini agama dipandang sebagai ritualisme semata tanpa keterkaitan pada tranformasi sosiopolitik.
Pemahaman agama seperti ini ialah produk dari sekularisme yang menempatkan agama pada ruang privat irasional. Juergen Habermas berbicara tentang verdraengungsmodell sebagai sebuah paradigma yang menjelaskan bahwa dalam masyarakat modern agama akan lenyap dari ruang publik. Agama hanya bergerak di ruang privat dan posisinya di ruang publik akan digantikan ilmu pengetahuan dan ideologi kemajuan masyarakat modern.
Dalam sejarah Indonesia, tendensi privatisasi agama ditopang secara sistematis oleh sistem politik yang mengkriminalisasi setiap gerakan kiri dengan agenda keadilan sosial sebagai ideologi komunis atau marxisme. Tak mengherankan jika agama-agama di Indonesia sering gagal mengembangkan dimensi transformatif sosial imannya dan lebih sibuk dengan ‘ritualisme dan narsisme atas kelompoknya sehingga seorang beragama yang pro-HAM, misalnya, dianggap ‘sekularis’ atau ‘antiagama oleh komunitasnya’ (F Budi Hardiman, 2011).
Kedua, tendensi kolonialisasi ruang publik oleh agama. Relasi patologis antara agama dan akal budi ini oleh Juergen Habermas dinamakan enteignungsmodell. Dalam terang paradigma ini, segala produk sekularisasi dan modernitas dianggap sebagai karya setan dan musuh agama yang harus dihancurkan. Itulah keyakinan ideologis para pelaku teror bom bunuh diri yang ingin membangun kembali ‘moralitas’ agama dengan jalan kekerasan.
Dominasi agama atau moralitas privat atas ruang publik secara kasat mata muncul dalam gerakan pengarusutamaan moralitas Islam konservatif. Menguatnya gerakan ultranasionalisme reaksioner sempit dalam diskursus dan praktik politik di Indonesia (Bdk Vedi R Hadiz, 2017).
Dominasi moralitas agama berhaluan konservatif berdampak pada pengabaian hak-hak privat warga negara (hak-hak liberal), terutama kelas sosial yang paling rentan seperti kelompok LGBT serta kelompok minoritas agama dan etnik.
Gerakan ultranasionalisme menghambat penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu, seperti penyelesaian kasus pembantaian massal pada 1965. Atas dasar patriotisme sempit itu, para purnawirawan jenderal militer menentang usaha pengungkapan kembali kebenaran kasus tersebut. Bagi mereka, pembasmian PKI ialah basis legitimasi kekuasaan militer selama masa Orde Baru.
Jalan tengah
Agama jalan tengah ialah sumber kekuatan transformatif untuk perwujudan keadilan dan kesejahteraan umum. Untuk itu, agama-agama harus mengatasi patologi ritualisme tanpa pertanggungjawaban sosial dan tendensi terlibat di ruang publik tanpa taat pada prinsip pluralisme dan toleransi. Secara politis, agama-agama harus mampu mengadvokasi hak-hak individual sekaligus berkomitmen untuk keadilan sosial sebagai pilar pembangunan masyarakat demokratis yang bermakna.
SUMBER : OPINI _ MEDIA INDONESIA
Penulis: Otto Gusti Dosen Filsafat Politik dan HAM di STFK Ledalero, Maumere, Flores, NTT Doktor di Hochschule fuer Philosophie, Muenchen, Jerman